Catatan Simpang

Website ini adalah catatan pendukung dari Penerbit Simpang Nusantara untuk para penulis, terutama para pemula yang masih menyimpan keraguan untuk memulai menulis dan menerbitkan buku sendiri.

Menulis

Yakinkan dirimu!

Terbitkan

Jangan ragu!

Sapa kami

Sampaikan!

Menulislah

.

Semua orang memiliki potensi untuk menuangkan idenya dalam bentuk tulisan. Mulailah dari sekarang, agar ke depan kamu memiliki karya tulisan yang siap dibaca oleh siapa saja yang membutuhkannya.

Terbitkan

.

Kini tidak harus memiliki banyak modal untuk menerbitkan buku, terutama bagi para pemulis yang kesulitan menembus penerbit mayor. Kesempatan untuk mendapat apresiasi dari para pembaca semakin terbuka lebar.

Bicarakan

.

Jika kamu memiliki kendala dalam menerbitkan atau mencetak buku, sampaikan kepada kami. Setiap masalah perlu ditemukan solusinya, agar tidak menjadi beban ke depan, sehingga setiap karya dapat dinikmati.

Friday, February 21, 2025

Mengenal Anatomi Buku dalam Dunia Penerbitan

Buku adalah jembatan antara ide dan pembaca. Di balik lembaran-lembaran kertas atau layar digital yang tampak sederhana, tersimpan struktur yang kompleks, dirancang dengan cermat untuk menyampaikan informasi, membangkitkan emosi, dan membentuk pemahaman. Dalam dunia penerbitan, struktur ini dikenal sebagai anatomi buku—susunan sistematis dari berbagai elemen yang membentuk satu kesatuan utuh. Setiap bagian memiliki fungsi, filosofi, dan nilai tersendiri. Mari kita telusuri lebih dalam.

1. Sampul Depan (Cover)

Sampul depan adalah titik pertama perjumpaan antara buku dan pembaca. Ia berfungsi sebagai wajah yang mencerminkan isi dan karakter buku. Dalam penerbitan modern, desain sampul tidak dibuat asal. Prosesnya melibatkan tim kreatif yang mempertimbangkan warna, tipografi, ilustrasi, dan psikologi visual.

Sampul depan biasanya memuat:

  • Judul utama, sebagai pengenal sekaligus daya tarik utama.
  • Subjudul, bila ada, yang memperjelas atau menambahkan makna pada judul.
  • Nama penulis, sebagai identitas pembuat karya.
  • Elemen grafis seperti gambar, simbol, atau tekstur yang selaras dengan tema.

Di balik estetika, sampul juga bekerja sebagai alat pemasaran. Buku-buku fiksi mungkin memilih desain emosional dan artistik, sementara buku nonfiksi menekankan kejelasan dan profesionalitas.

2. Punggung Buku (Spine)

Punggung buku, atau spine, adalah bagian vertikal yang menghubungkan sampul depan dan belakang. Meski terlihat kecil, ia memainkan peran penting dalam visibilitas buku saat disusun di rak toko atau perpustakaan.

Biasanya mencantumkan:

  • Judul buku
  • Nama penulis
  • Logo penerbit

Pada buku-buku tebal, punggung buku bahkan bisa menjadi medan desain tersendiri. Konsistensi desain pada punggung penting untuk identitas visual dalam seri buku atau koleksi penerbit.

3. Sampul Belakang (Back Cover)

Jika sampul depan menggoda mata, maka sampul belakang menyapa dengan penjelasan. Ia memuat konten yang menjawab pertanyaan: “Kenapa buku ini layak dibaca?”

Biasanya terdapat:

  • Sinopsis singkat isi buku
  • Kutipan testimoni dari pembaca atau tokoh penting
  • Biografi penulis singkat
  • ISBN dan barcode, sebagai identifikasi unik buku secara global

Dalam penerbitan profesional, teks pada sampul belakang ditulis dengan teknik promosi yang halus namun menggugah. Tujuannya adalah membuat pembaca merasa penasaran dan akhirnya membeli buku.

4. Halaman Praliminary (Pendahuluan)

Sebelum pembaca memasuki isi utama, mereka disambut oleh serangkaian halaman pembuka. Ini adalah bagian transisional dari penampilan luar ke isi buku, yang memperkenalkan struktur dasar dan informasi penting.

Beberapa elemen di dalamnya:

  • Halaman Judul: Biasanya berisi judul utama, subjudul, dan nama penulis.
  • Halaman Hak Cipta (Copyright Page): Menjelaskan kepemilikan hak cipta, edisi, tahun terbit, penerbit, ISBN, dan kadang peringatan larangan fotokopi ilegal.
  • Kata Pengantar atau Prakata: Ruang bagi penulis untuk menyampaikan latar belakang penulisan, tujuan, dan ucapan terima kasih. Kata pengantar juga bisa ditulis oleh tokoh lain sebagai pengantar dari sudut pandang berbeda.
  • Daftar Isi: Peta navigasi yang menunjukkan susunan bab dan subbab. Ini sangat penting terutama untuk buku referensi, akademik, atau panduan praktis.

Praliminary menciptakan struktur formal dan memberi rasa arah pada pembaca.

5. Isi Utama (Body)

Inilah inti dari buku—ruang tempat ide, cerita, dan pesan dituangkan. Struktur isi utama sangat tergantung pada jenis bukunya. Novel akan dibagi dalam bab berdasarkan alur, sementara buku ilmiah atau praktis lebih terstruktur logis berdasarkan tema.

Elemen yang umum ditemukan:

  • Bab dan Subbab: Memberi jeda dan struktur. Tiap bab mengembangkan ide pokok secara bertahap.
  • Ilustrasi, Grafik, dan Foto: Digunakan untuk memperjelas atau memperkuat informasi. Dalam buku anak, visual menjadi pusat pengalaman membaca.
  • Catatan Kaki: Memberikan informasi tambahan atau referensi tanpa mengganggu alur utama. Umumnya ditemukan dalam buku akademik.

Pada tahap ini, buku benar-benar bekerja sebagai media komunikasi antara penulis dan pembaca.

6. Lampiran

Lampiran adalah tambahan informasi yang relevan namun tidak dimasukkan dalam isi utama untuk menjaga alur. Umumnya berupa:

  • Data statistik
  • Peta
  • Dokumen resmi
  • Surat, tabel, atau kode (dalam buku teknis)

Lampiran memberikan konteks tambahan dan sering kali digunakan dalam buku ilmiah, hukum, atau sejarah.

7. Glosarium

Glosarium adalah kamus kecil di dalam buku. Ia berfungsi menjelaskan istilah-istilah teknis atau asing yang digunakan dalam teks. Biasanya disusun alfabetis, glosarium sangat membantu dalam buku bidang medis, sains, teknologi, atau pendidikan.

8. Daftar Pustaka (Bibliografi)

Ini adalah daftar sumber referensi yang digunakan penulis dalam proses penulisan buku. Disusun berdasarkan sistem tertentu (APA, MLA, Chicago, dll), daftar pustaka berfungsi sebagai:

  • Bukti validitas isi
  • Penghargaan terhadap sumber ide
  • Rujukan lanjutan bagi pembaca

Bagi dunia akademik, daftar pustaka adalah elemen yang tak terpisahkan dan menjadi ukuran kredibilitas karya.

9. Indeks

Indeks adalah sistem pencarian cepat dalam buku. Biasanya ditemukan di halaman akhir dan disusun alfabetis, indeks menunjukkan topik tertentu beserta nomor halaman tempat ia dibahas.

Contoh:

  • Etika, 45, 89, 103
  • Hukum, 12, 77

Indeks sangat penting dalam buku referensi, hukum, kedokteran, dan ensiklopedia. Tanpanya, pembaca akan kesulitan menemukan informasi spesifik.

10. Tentang Penulis (Biografi Penulis)

Bagian ini memperkenalkan penulis kepada pembaca. Isinya bisa mencakup:

  • Latar belakang pendidikan dan karier
  • Prestasi atau karya sebelumnya
  • Motivasi penulisan buku
  • Foto atau kutipan pribadi

Membangun koneksi personal antara penulis dan pembaca adalah salah satu fungsi utama bagian ini. Dalam konteks penerbitan, reputasi penulis bisa menjadi daya tarik tersendiri.

Anatomi buku bukanlah sekadar struktur teknis, tetapi juga cerminan dari niat, ideologi, dan estetika sebuah karya. Di setiap bagian—dari sampul hingga indeks—terdapat pertimbangan profesional yang kompleks. Memahami anatomi buku akan menambah apresiasi kita terhadap proses panjang yang dilalui dari naskah menjadi karya cetak. Bagi penulis, editor, dan penerbit, pengetahuan ini adalah fondasi penting dalam menciptakan buku yang tidak hanya informatif, tetapi juga indah dan bermakna.



logoblog

Tuesday, February 18, 2025

Inti Thariqah Syadziliyah: Jalan Spiritual Menuju Allah

Dalam tradisi Islam tasawuf, ilmu thariqah adalah jalan ruhani yang ditempuh oleh seorang salik untuk mencapai makrifatullah—pengenalan mendalam dan langsung kepada Allah SWT. Ia bukan sekadar teori, melainkan amalan yang hidup di hati, lisan, dan perilaku sehari-hari. Melalui bimbingan seorang mursyid, seorang salik membersihkan hati dari penyakit ruhani seperti ujub, riya, hasad, dan takabbur, lalu menggantikannya dengan sifat-sifat mulia: ikhlas, sabar, syukur, tawakal, dan cinta kepada Allah.

Thariqah Syadziliyah: Hikmah dalam Kesibukan Dunia


Thariqah Syadziliyah, didirikan oleh Imam Abul Hasan Asy-Syadzili di abad ke-7 Hijriah (w. 1258 M), lahir dari semangat untuk menyeimbangkan hidup batin dan lahir. Imam Abul Hasan Asy-Syadzili adalah seorang ulama dan sufi besar asal Maroko yang kemudian menetap di Mesir. Imam Syadzili bukan seorang zahid yang mengasingkan diri, melainkan pemimpin spiritual yang hidup di tengah masyarakat, menekankan bahwa dunia bukan sesuatu yang harus ditinggalkan, tetapi dikelola dengan hati yang bersih.

Dalam samudera luas tarekat sufi, Thariqah Syadziliyah menempati posisi istimewa sebagai salah satu jalan yang menekankan pada keseimbangan antara kehidupan batin dan lahir, antara dunia dan akhirat. Thariqah ini menekankan pada pembersihan hati (tazkiyatun nafs) melalui dzikir, muraqabah (kesadaran akan kehadiran Allah), dan amal saleh yang membumi.

Imam Syadzili berkata:

“Ambillah dunia di tanganmu, dan jangan kau masukkan ke dalam hatimu.”

Salah satu keunikan Syadziliyah adalah dzikirnya yang khas, seperti Hizb al-Bahr dan Hizb an-Nashr, yang mengandung doa-doa perlindungan, kekuatan, dan tawakal kepada Allah. Dalam pandangan beliau, dzikir bukan pelarian dari dunia, melainkan kekuatan untuk menghadapi dunia dengan jiwa yang kokoh dan hati yang tersambung pada Allah.

Bagi salik masa kini, ajaran Syadziliyah sangat relevan. Di tengah hiruk-pikuk pekerjaan, teknologi, dan tantangan hidup modern, thariqah ini mengajarkan bahwa aktivitas duniawi bisa menjadi ibadah bila diniatkan dengan benar dan dijalani dengan hati yang bersih.

Jalan Tengah dalam Spiritualitas

Imam Asy-Syadzili terkenal dengan pendekatan wasathiyah (moderat) dalam menjalani tarekat. Ia menolak sikap menjauhi dunia secara ekstrem, dan justru mengajarkan bahwa kehidupan dunia dapat menjadi ladang ibadah, selama hati tetap terhubung kepada Allah.

“Jangan jadikan dunia dalam hatimu, tapi letakkan ia di tanganmu. Engkau bebas menggunakannya untuk mencapai Allah.”
— Abul Hasan Asy-Syadzili

Syadziliyah mengajarkan bahwa kekayaan tidak dilarang, selama ia digunakan untuk membantu orang lain dan tidak menjadi tirani dalam jiwa.

Inti Ajaran: Tauhid, Tawakkal, dan Kesadaran Ilahi

Ajaran Syadziliyah bertumpu pada tauhid yang mendalam: bahwa tidak ada daya dan upaya kecuali dari Allah (laa haula wa laa quwwata illa billah). Pengikut thariqah ini diajak untuk benar-benar menyerahkan segala urusan kepada Allah sambil terus berusaha secara aktif dan bertanggung jawab di dunia.

Konsep tawakkal (bersandar sepenuhnya pada Allah) adalah kunci. Tapi bukan tawakkal yang pasif, melainkan yang aktif dan produktif—bekerja keras sambil yakin bahwa hasil sepenuhnya di tangan Allah.

Latihan Spiritual: Dzikir sebagai Jalan Kedekatan

Salah satu metode utama dalam Syadziliyah adalah dzikir, yang dilakukan baik secara loud (jahr) maupun silent (sirr). Tujuannya adalah membiasakan hati untuk selalu hadir bersama Allah, dalam setiap langkah dan napas.

Dalam Thariqah Syadziliyah, dzikir bukan sekadar lafaz yang diucapkan, melainkan latihan spiritual mendalam yang menjadi jantung dari perjalanan ruhani seorang murid. Dzikir adalah kendaraan utama untuk menghidupkan hati, memperhalus jiwa, dan membangun kedekatan yang intim dengan Allah. Ia adalah amalan lahiriah yang membuka tabir batiniah.

Imam Abul Hasan Asy-Syadzili meletakkan dzikir sebagai pilar utama dalam thariqahnya, dengan keyakinan bahwa hati manusia tidak akan pernah benar-benar tenang kecuali dengan mengingat Tuhan. Sebagaimana firman Allah:

“Alaa bi dzikrillahi tathma’innul quluub”
“Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenang.”
(QS. Ar-Ra’d: 28)

Dzikir dalam pandangan Syadziliyah bukan hanya pengulangan lafaz, tetapi penghadiran hati secara total kepada Allah. Seorang murid diajarkan untuk mengingat Allah bukan hanya dengan lisan, melainkan juga dengan pikiran dan hati, hingga seluruh keberadaannya terserap dalam kehadiran Ilahi.

Dalam tarekat ini, dzikir dikelompokkan dalam tiga tingkatan:

  1. Dzikir bil-lisan (dengan lisan): Tahapan awal bagi murid untuk melatih kehadiran hati melalui lafaz-lafaz dzikir yang diucapkan.
  2. Dzikir bil-qalb (dengan hati): Setelah lisan terbiasa, fokus berpindah ke hati. Dzikir mulai menjadi lebih dalam dan menyatu dalam kesadaran.
  3. Dzikir bis-sirr (dengan rahasia jiwa): Dzikir ini berlangsung tanpa suara dan tanpa gerak; hanya batin yang berdialog dengan Tuhan. Inilah maqam muraqabah dan musyahadah.

Dalam konteks ini, dzikir bukan hanya aktivitas waktu luang, tetapi ibadah sentral yang bisa dilakukan kapan pun dan di mana pun, menjadikan hidup sebagai ladang dzikir.

Di antara para salik terdapat dzikir kolektif seperti ratib Asy-Syadzili dan pembacaan Hizb al-Bahr, yang menjadi semacam pelindung ruhani dalam berbagai kondisi kehidupan.

Ritme dzikir dilakukan dengan kesungguhan (hudhur) dan ketekunan (muwazhobah). Imam Asy-Syadzili menekankan pentingnya istiqamah dalam dzikir, bahkan jika tidak merasakan "apa-apa". Karena tujuan dzikir bukan semata mendapatkan rasa, tapi membangun keterhubungan hakiki dengan Allah yang terus menerus.

Dampak Dzikir terhadap Jiwa

Dzikir yang dilakukan dengan benar membawa perubahan nyata dalam jiwa:

  • Membersihkan hati dari penyakit batin seperti sombong, riya, dengki, dan cinta dunia berlebihan.
  • Menumbuhkan cinta kepada Allah (mahabbah), yang menjadi pusat energi spiritual.
  • Menumbuhkan sabar dan ridha, sehingga murid tidak mudah gelisah terhadap takdir.
  • Melembutkan akhlak, karena dzikir mengarahkan hati untuk selalu sadar bahwa Allah melihatnya setiap saat.
  • Membangun ketenangan dan keteguhan, terutama saat menghadapi kesulitan hidup.

Dalam istilah sufi, murid yang terus berdzikir akan naik dari maqam dzikrullah (sekadar mengingat Allah) menuju maqam hudhur (merasakan kehadiran Allah), dan akhirnya mencapai maqam fana’, yaitu melebur dalam kehendak dan cinta-Nya.

Dzikir sebagai Sarana Tajalli (Manifestasi Ilahi)

Bagi sufi Syadziliyah, dzikir bukan hanya permintaan, tetapi pembukaan tabir antara hamba dan Tuhan. Ketika dzikir dilakukan dengan penuh keikhlasan, Allah akan menampakkan sifat-sifat-Nya (tajalli) dalam hati si murid. Kadang ini datang dalam bentuk pencerahan, rasa damai, atau karunia berupa kesadaran batin yang mendalam.

Tajalli ini bukan tujuan akhir, tapi buah dari cinta dan penghambaan yang tulus. Dan seorang murid tidak boleh terjebak pada karunia, tetapi harus terus berjalan menuju Allah, Sang Maha Pemberi.

Penyeimbang Hidup Duniawi

Dalam Syadziliyah, dzikir juga menjadi penyeimbang kehidupan duniawi. Murid tidak dilarang bekerja, berdagang, atau berpolitik. Namun, ia harus menjaga agar hati tetap bersama Allah meskipun jasadnya sibuk dengan dunia. Dzikir menjadi cara menjaga ruhani tetap hidup dalam keramaian.

"Kami adalah kaum yang Allah sibukkan hati kami dengan-Nya, meski tangan kami sibuk bekerja di dunia."
— Abul Hasan Asy-Syadzili

Dzikir dalam Thariqah Syadziliyah adalah latihan jiwa yang berkelanjutan, jalan yang mengantarkan hamba menuju kesadaran akan kehadiran Allah dalam setiap aspek hidup. Ia bukan sekadar bacaan, tetapi cahaya yang menembus hati, menghidupkan cinta, dan membimbing jiwa menuju lautan tauhid yang murni.

Bagi mereka yang istiqamah berdzikir, dunia bukan lagi penghalang menuju Allah—melainkan cermin di mana wajah-Nya memancar dalam tiap gerak dan diam.

Rekomendasi buku dengan tema di atas adalah Thariqah: Menempuh Jalan Menuju Allah (Bekal bagi Para Pengamal Thariqah)

logoblog

Monday, February 17, 2025

Søren Kierkegaard: "Takut dan Gemetar" — Iman dalam Dunia yang Penuh Ketidakpastian

 Di tengah gempuran modernitas, relativisme, dan kehidupan serba instan, pemikiran Søren Kierkegaard dalam Fear and Trembling (Frygt og Bæven, 1843) menawarkan suatu perenungan yang sunyi namun menggugah: bagaimana manusia berdiri di hadapan Tuhan, di hadapan diri sendiri, dan di hadapan misteri hidup. Kierkegaard, melalui nama samaran “Johannes de Silentio”, menyampaikan refleksi tentang iman—bukan sebagai dogma, tetapi sebagai paradoks, lompatan, dan perjuangan eksistensial yang mendalam.

Abraham dan “Lompatan Iman”

Pusat narasi Fear and Trembling adalah kisah Abraham yang diperintahkan Tuhan untuk mengorbankan anaknya, Ishak. Bagi Kierkegaard, kisah ini bukan tentang ketaatan biasa, tetapi tentang iman sebagai paradoks etis, di mana manusia melampaui etika umum demi relasi absolut dengan Yang Ilahi.


“Iman adalah bahwa karena absurd itu, maka aku percaya.” (Fear and Trembling)


Di zaman rasional dan serba logis, lompatan iman ini terasa seperti kegilaan. Siapa yang mau percaya kepada sesuatu yang tidak dapat dijelaskan? Namun justru di sinilah relevansinya: ketika hidup menawarkan pertanyaan-pertanyaan yang tak bisa dijawab dengan logika—kematian, cinta sejati, tujuan hidup, penderitaan—iman muncul bukan sebagai jawaban, tetapi sebagai keberanian untuk tetap melangkah tanpa kepastian.
“Abraham menjadi besar dengan kekuatannya… dengan kekuatan absurditas dia percaya bahwa dia akan mendapatkan Ishak kembali.” (Fear and Trembling)

Iman, bagi Kierkegaard, bukan kepastian. Iman adalah perjuangan penuh gemetar, antara cinta dan kehilangan, antara pengorbanan dan harapan.

Ksatria Iman: Tokoh Sunyi Zaman Modern 

Kierkegaard membedakan antara “ksatria resignasi” dan “ksatria iman.” Yang pertama adalah mereka yang rela melepaskan segalanya demi sesuatu yang lebih tinggi—tapi mereka tetap dalam kesedihan. Yang kedua, jauh lebih radikal: mereka melepaskan segalanya dan tetap percaya bahwa mereka akan mendapatkannya kembali, meski kelihatannya mustahil.

“Ksatria iman percaya dengan absurditas, dan karena itu dia akan mendapatkan kembali segala sesuatu yang ia lepaskan.” (Fear and Trembling)
Di dunia sekarang, ksatria iman bukanlah mereka yang fanatik, melainkan mereka yang berani mencintai tanpa jaminan, berjuang dalam kesetiaan ketika semuanya tak jelas, tetap menulis, mencipta, dan mencintai—meskipun dunia mungkin tidak mengakui mereka.

Melampaui Etika Umum: Ketegangan antara Individu dan Masyarakat

Kierkegaard menggugat prinsip moral universal ‘Kantian’ yang mengharuskan tindakan moral berlaku umum. Abraham tidak bisa menjelaskan tindakannya kepada siapa pun. Ia berdiri sendirian di hadapan Tuhan, dalam ruang sunyi eksistensial.
“Ia tidak dapat berbicara... dan di dalam kesunyian itu, ia menjadi besar.” (Fear and Trembling)
Zaman ini menyukai narasi yang bisa dibagikan, bisa divalidasi sosial, dan bisa dibuktikan secara saintifik. Tapi ada keputusan-keputusan pribadi yang tak bisa dijelaskan ke publik. Keputusan untuk tetap bersama pasangan saat badai datang. Keputusan meninggalkan pekerjaan mapan demi hidup lebih bermakna. Keputusan mengampuni tanpa alasan rasional. Ini adalah momennya Abraham dalam hidup kita masing-masing—dan tak semua orang bisa mengerti.

Ketakutan dan Gemetar: Bahasa Iman, Bukan Kepastian

Judul buku ini bukan kebetulan. Fear and Trembling (Takut dan Gemetar) adalah sikap eksistensial manusia yang berdiri di hadapan sesuatu yang kudus dan absolut. Iman bukanlah kepercayaan buta, tapi pengalaman penuh gentar dalam menghadapi misteri yang tak tergapai.
“Hanya dalam ketakutan dan gemetar, individu dapat mengalami perjumpaan sejati dengan Yang Ilahi.”
Kita hidup di zaman yang alergi terhadap ketidakpastian. Tapi Kierkegaard mengajarkan bahwa ketakutan bukan kelemahan, justru itu adalah bagian dari iman yang sejati. Iman bukan tentang menghapus keraguan, melainkan berani hidup bersamanya.

Relevansi Kontemporer: Iman dalam Dunia yang Sunyi

Kierkegaard sering menyebut dirinya sebagai “penyair religius,” tapi apa yang ia bicarakan lebih luas daripada agama formal. Ia bicara tentang perjuangan batin manusia modern: hidup tanpa jaminan, mencintai tanpa balasan, memilih dengan risiko gagal, dan percaya walau tampaknya tak ada alasan untuk percaya.
“Yang tragis adalah ketika seseorang kehilangan dirinya sendiri dan tidak menyadarinya.” (The Sickness Unto Death)
Di dunia yang sibuk mencari validasi eksternal, kita kerap kehilangan diri kita sendiri—dan inilah penyakit zaman modern: kehilangan makna, kehilangan arah, dan akhirnya kehilangan keberanian untuk percaya.

Iman sebagai Pemberontakan Sunyi

Dalam Fear and Trembling, Kierkegaard tidak menawarkan jawaban, tapi menghidupkan kembali ruang sunyi dalam batin manusia—ruang di mana kita ditantang untuk berani percaya meski dunia tidak mengerti. Iman bukanlah milik orang fanatik, tapi milik mereka yang tetap bertahan di tengah absurditas hidup, dan yang berani mencintai tanpa syarat.
“Hidup hanya dapat dipahami dengan melihat ke belakang, tetapi ia harus dijalani dengan melihat ke depan.” (Journals, 1843)
Dalam ketakutan dan gemetar, iman kita diuji. Dan di sanalah, menurut Kierkegaard, manusia menjadi paling manusiawi.

Pandangan spiritual Kierkegaard ini tentu berbeda dengan para spiritualis yang telah mengalami pencerahan, di mana keimanan itu telah dilampaui dengan keselarasan diri bersama kecerdasan semesta. Terdapat tafsir berbeda dalam memaknai dogma, terutama ketika para spiritualis menempatkan dogma sebagai ajaran simbolis yang dipakai untuk memperbaiki kesadaran ilahi setiap diri manusia. Teks dibaca bukan semata-mata sebagai adanya, tetapi terdapat makna di balik tanda yang terselubung, sebagai pintu kebijaksanaan diri.

Meski demikian, tafsir Kierkegaard cukup menggugah para pemegang teguh iman yang selama ini hanya menganggap kisah Abraham sebagai dogma saja, sehingga menemukan pergeseran pemaknaan atas ajaran agama.

Bagi Anda yang masih membutuhkan buku tersebut, silakan klik, link berikut. TAKUT dan GEMETAR.

logoblog

Thursday, February 13, 2025

Ruang Kebebasan dalam ‘Kamar Milik Sendiri’ Virginia Woolf

 "Perempuan, jika ingin menulis fiksi, harus memiliki uang dan kamar milik sendiri."

— Virginia Woolf, A Room of One’s Own

Begitulah kalimat yang menjadi inti dari buku Kamar Milik Sendiri, sebuah esai panjang yang dibingkai dalam bentuk narasi kontemplatif. Meski diterbitkan pertama kali pada 1929, pemikiran Virginia Woolf dalam karya ini tetap menggema kuat hingga kini, menembus batas waktu dan budaya. Buku ini bukan hanya refleksi sastra, tetapi juga pernyataan sosial dan politik tentang kondisi perempuan dalam dunia literasi dan kehidupan intelektual.

Latar dan Bentuk Penulisan



Kamar Milik Sendiri lahir dari undangan ceramah di dua universitas perempuan, namun Woolf memilih untuk tidak menyampaikan ceramah biasa. Ia malah menyusun sebuah prosa naratif, dengan gaya mengalir seperti sungai pikiran (stream of consciousness) yang khas darinya. Tokoh naratornya bukan Woolf sendiri secara langsung, tetapi seorang “aku” yang menjelajah universitas, perpustakaan, dan jalan-jalan di London, merenungkan pertanyaan mendasar: mengapa begitu sedikit perempuan yang menulis seperti Shakespeare?

Alih-alih memberikan jawaban langsung, Woolf merangkainya lewat pengalaman, sejarah, dan fiksi imajinatif yang bertemu dalam alur renungan filosofis. Ia menggugah pembaca untuk berpikir kritis terhadap kondisi sosial dan kultural yang membentuk perempuan—dan lebih penting lagi, yang membungkam mereka.

Judith Shakespeare dan Imajinasi yang Dibunuh

Dalam salah satu bagian paling menyentuh, Woolf menciptakan tokoh Judith Shakespeare, saudari imajiner dari William Shakespeare. Judith digambarkan sama jeniusnya, bahkan mungkin lebih, namun karena ia perempuan, nasibnya jauh berbeda. Ia tidak bisa sekolah, dipaksa menikah muda, dan saat mencoba melarikan diri demi teater, ia diperkosa dan akhirnya bunuh diri dalam keputusasaan.

“Judith Shakespeare akan mengambil nyawanya sendiri, karena tubuh dan pikirannya tak diberi ruang untuk tumbuh.”

Kisah Judith adalah simbol dari ribuan perempuan jenius yang tak pernah sempat dikenang sejarah. Imajinasi mereka tak berkembang, bukan karena kekurangan bakat, tetapi karena tidak diberi peluang.

Uang, Ruang, dan Kebebasan Berpikir

Woolf terus menekankan dua prasyarat mendasar agar seorang perempuan dapat menulis: kebebasan ekonomi dan ruang privat. Dalam konteksnya, perempuan pada awal abad ke-20 nyaris tak punya keduanya. Mereka bergantung pada penghasilan suami, dan sebagian besar waktu mereka tersita oleh tugas rumah tangga. Bahkan untuk membaca dan berpikir pun, sering kali mereka tidak punya waktu dan ruang yang memadai.

“Pikiran tidak bisa bekerja dalam tekanan, dalam kemiskinan, atau dalam kebisingan rumah.”
Kutipan ini tetap relevan di era sekarang, terutama bagi perempuan yang hidup dalam kemiskinan, kekerasan domestik, atau tekanan mental akibat tuntutan sosial. Woolf mengajak kita melihat bahwa kebebasan intelektual tidak bisa dilepaskan dari kondisi material.

Representasi dalam Dunia Sastra dan Akademik

Woolf juga mengkritik representasi perempuan dalam buku-buku yang ditulis oleh laki-laki. Ia menemukan bahwa dalam literatur, perempuan sering kali digambarkan sebagai sosok pasif, lemah, atau hanya sebagai pelengkap cerita laki-laki. Tetapi dalam kenyataan, perempuan adalah makhluk kompleks yang penuh kekuatan dan konflik batin.

“Perempuan telah menjadi kaca yang memiliki kekuatan magis untuk memantulkan citra laki-laki dua kali lebih besar dari ukuran sebenarnya.”

Kritik ini menggambarkan bagaimana perempuan telah dijadikan cermin ego dan dominasi patriarki. Masih sering kita lihat hari ini bagaimana perempuan di media atau sastra mainstream hanya hadir untuk mendukung peran utama laki-laki.

Relevansi di Zaman Sekarang

Apa yang disampaikan Woolf hampir seabad lalu ternyata masih menjadi isu sentral dalam diskursus gender hari ini. Masih banyak perempuan yang tidak punya akses pada pendidikan yang setara. Perempuan di dunia kreatif, seperti film, musik, dan sastra, masih harus bekerja keras untuk mendapatkan tempat dan diakui atas karyanya sendiri, bukan atas relasi mereka dengan tokoh laki-laki.

Kamar milik sendiri, dalam konteks masa kini, bukan hanya ruang fisik. Ia bisa berarti waktu, otonomi berpikir, privasi digital, atau bahkan kebebasan memilih peran dalam hidup. Ketika perempuan diberi ruang untuk diam, berpikir, dan menulis—dunia akan membaca perspektif baru yang selama ini tersembunyi.

“Tidak ada pintu yang harus ditutup untuk menulis. Hanya kebebasan yang membuka jendela.”
Kamar Milik Sendiri adalah karya yang lebih dari sekadar esai sastra. Ia adalah panggilan untuk mendengar suara perempuan—yang selama berabad-abad dibungkam oleh budaya patriarki. Lewat gaya menulisnya yang lembut namun tajam, Woolf menyalakan cahaya bagi generasi perempuan penulis untuk datang. Ia mengingatkan kita bahwa untuk menciptakan karya besar, kita tidak hanya butuh bakat, tapi juga kondisi sosial yang mendukung.

Bagi siapa pun yang pernah merasa tidak cukup punya ruang, waktu, atau pengakuan untuk menulis atau berkarya, buku ini adalah pengingat yang kuat: bahwa menciptakan ruang bagi diri sendiri adalah tindakan yang revolusioner.

Sayangnya, Wolf tidak mengalami zaman digital, di mana perempuan bukan tidak memiliki ruang privasi untuk membebaskan pemikirannya dengan menulis, tetapi justru memiliki ruang privat yang terpublikasi di media sosial demi untuk mendapatkan kebebasan finansial. Atau justru sesungguhnya, mereka lebih banyak terbelenggu oleh fakta sosial digital yang sexis dan eksploitatif? Itu semua tergantung dari mana kita memposisikan sudut pandang; dari segi pembebasan finansial, ekplorasi kebudayaan tubuh, tekanan patriarki yang terselubung, atau dari sudut mana pun. Yang jelas, di zaman relativitas kebenaran saat ini, siapa pun berhak membuat persepsi.

Jika merasa buku Kamar Milik Sendiri karya Virginia Wolf ini masih layak di baca, Anda dapat membelinya di sini.

KAMAR MILIK SENDIRI

logoblog

Monday, February 10, 2025

Tips Menulis Buku: Panduan Lengkap dari Awal Hingga Siap Diterbitkan

Menulis buku adalah perjalanan kreatif yang menantang sekaligus memuaskan. Di awal perjalanan, banyak calon penulis merasa penuh semangat, namun sering kali kebingungan tentang bagaimana mengubah ide mentah menjadi sebuah karya utuh yang layak terbit. Jika Anda salah satunya, Anda tidak sendiri. Untuk itu, kami hadirkan panduan ini — tips lengkap yang akan membantu Anda menulis buku dari nol hingga siap dipublikasikan.

Semua berawal dari 'ide besar'. Setiap buku hebat lahir dari satu ide kuat yang spesifik, unik, dan relevan. Sebelum Anda mulai menulis, tanyakan pada diri Anda: Apa pesan utama yang ingin saya sampaikan? Ide yang kabur akan membuat tulisan Anda tidak fokus, sementara ide yang jelas akan menuntun seluruh alur buku dengan lebih rapi.


Setelah menemukan ide, penting untuk 'memahami siapa target pembaca Anda'. Buku yang efektif adalah buku yang berbicara langsung kepada audiens yang dituju. Mengetahui usia, minat, serta kebutuhan pembaca akan membantu Anda menentukan bahasa, contoh, hingga tingkat kedalaman pembahasan. Sebuah buku anak tentu akan sangat berbeda pendekatannya dibandingkan buku bisnis untuk profesional.

Langkah berikutnya adalah 'menyusun outline'. Outline adalah peta jalan yang akan memandu Anda menyusun isi buku dari awal hingga akhir. Tanpa outline, menulis buku bisa terasa seperti menjelajahi hutan tanpa kompas. Buatlah kerangka yang membagi buku menjadi beberapa bagian besar, lalu pecah lagi menjadi bab-bab kecil dengan poin-poin penting di dalamnya. Dengan demikian, Anda akan menulis lebih terstruktur dan mengurangi kemungkinan tersesat di tengah jalan.

Namun, memiliki outline saja tidak cukup. Anda perlu 'mendisiplinkan jadwal menulis'. Banyak calon penulis gagal menyelesaikan bukunya bukan karena kurang bakat, tetapi karena kurang disiplin. Jadwalkan waktu khusus untuk menulis setiap hari, meskipun hanya satu jam atau menulis 500 kata. Disiplin kecil yang dilakukan konsisten jauh lebih efektif daripada menunggu inspirasi besar yang jarang datang.

Dalam proses menulis, ingatlah untuk 'tidak perfeksionis pada draf pertama'. Biarkan kata-kata mengalir tanpa menghakimi. Jangan berhenti di tengah untuk mengedit, jangan khawatir soal struktur kalimat yang belum sempurna. Fokus utama Anda pada tahap ini adalah menyelesaikan draf. Ingat, Anda selalu bisa memperbaiki naskah nanti, tetapi Anda tidak bisa memperbaiki halaman kosong.

Seiring berkembangnya naskah, pastikan Anda 'memperkaya tulisan dengan riset dan referensi'. Buku, apalagi nonfiksi, akan lebih berbobot jika didukung data, studi kasus, atau wawasan dari sumber terpercaya. Sedangkan untuk fiksi, riset tentang latar tempat, budaya, atau profesi tokoh bisa membuat cerita terasa lebih hidup dan autentik.

Bagi Anda yang menulis fiksi, perhatian khusus perlu diberikan pada 'penciptaan karakter dan pembangunan alur cerita'. Tokoh yang kuat dengan motivasi yang meyakinkan akan membuat pembaca terhubung secara emosional. Sementara alur cerita yang terencana dengan baik — mulai dari pembukaan yang menarik, konflik yang memuncak, hingga penyelesaian yang memuaskan — akan menjaga ketertarikan pembaca dari halaman pertama sampai terakhir.

Setelah draf selesai, pekerjaan Anda belum usai. Kini saatnya 'melakukan editing berlapis'. Mulailah dengan self-editing: baca ulang naskah Anda, perbaiki inkonsistensi logika, perhalus gaya bahasa, dan koreksi kesalahan ketik. Lalu, mintalah bantuan beta reader atau editor profesional untuk memberikan perspektif luar. Kadang, mata orang lain bisa menemukan kekurangan yang tidak Anda sadari.

Setelah naskah selesai diedit dan diperbaiki, Anda harus 'mempersiapkan buku untuk diterbitkan'. Ini meliputi pembuatan desain cover yang menarik — karena sampul adalah kesan pertama buku Anda — serta penyusunan layout isi buku yang nyaman dibaca. Jangan lupa pula mengurus ISBN, identitas resmi bagi buku Anda. Pilihlah jalur penerbitan yang sesuai: apakah ingin mencoba penerbit tradisional atau menerbitkan sendiri melalui platform self-publishing.

Akhirnya, perjalanan menulis buku belum benar-benar selesai tanpa 'promosi'. Buku yang hebat butuh diperkenalkan kepada dunia. Gunakan media sosial, blog, event peluncuran buku, atau kerjasama dengan komunitas untuk menyebarluaskan karya Anda. Ingat, tak ada yang lebih membanggakan daripada melihat buku hasil kerja keras Anda akhirnya berada di tangan pembaca yang menghargainya.

Menulis buku memang bukan perjalanan mudah. Tapi dengan tekad yang kuat, perencanaan matang, dan semangat belajar terus-menerus, Anda akan sampai di tujuan. Mulailah dari satu halaman hari ini. Karena setiap buku besar, dulu juga dimulai dari satu kata.



logoblog

Friday, February 7, 2025

Cara Menulis Novel: Dari Ide Hingga Menjadi Karya Utuh

 Menulis novel adalah sebuah perjalanan panjang yang penuh dengan tantangan, kreativitas, dan disiplin. Bagi banyak orang, menulis novel adalah impian yang lama tersimpan — keinginan untuk menciptakan dunia sendiri, menghidupkan karakter, dan mengisahkan cerita yang bisa menyentuh pembaca di berbagai belahan dunia. Namun, sering kali, langkah pertama terasa begitu besar dan menakutkan. Dari mana harus mulai? Bagaimana membangun cerita dari ide sederhana hingga menjadi sebuah karya yang utuh?

Semua bermula dari sebuah ide. Ide cerita adalah benih yang menentukan tumbuh kembang novel Anda. Sebelum mulai menulis, penting untuk menemukan ide yang kuat — ide yang bukan hanya sekadar menarik, tetapi juga memiliki inti konflik yang jelas, tokoh sentral yang kuat, dan arah cerita yang bisa dikembangkan. Sebuah ide yang matang adalah bekal utama untuk perjalanan panjang menulis novel.


Namun ide saja tidak cukup. Karakter-karakter dalam cerita Anda adalah elemen yang akan membuat pembaca bertahan dan peduli. Maka, membangun karakter yang berkesan menjadi langkah berikutnya. Karakter yang baik harus memiliki keinginan yang jelas, memiliki kelemahan yang membuat mereka terasa manusiawi, dan mengalami perkembangan sepanjang cerita. Seorang tokoh yang tanpa cela akan terasa hambar, sedangkan karakter yang bertumbuh, belajar dari kegagalan, dan menunjukkan sisi rapuh mereka, akan jauh lebih mudah diterima pembaca.

Setelah ide dan karakter mulai terbentuk dalam bayangan Anda, penting untuk mulai membangun alur cerita. Sebuah novel bukanlah sekadar kumpulan kejadian, melainkan perjalanan yang terstruktur: ada awal yang memperkenalkan dunia cerita dan karakter, ada konflik yang memunculkan ketegangan, ada klimaks yang menguji karakter hingga batas mereka, dan ada penyelesaian yang memuaskan — atau justru menggugah. Struktur alur ini penting untuk menjaga emosi pembaca tetap terikat dari awal hingga akhir.

Agar perjalanan menulis lebih terarah, banyak penulis berpengalaman menyarankan untuk membuat outline. Outline bukanlah penjara, melainkan peta jalan. Dengan outline, Anda bisa mengetahui arah besar cerita, memahami hubungan antar bab, dan menjaga konsistensi karakter maupun konflik. Meskipun Anda boleh berimprovisasi saat menulis, memiliki panduan kasar akan sangat membantu mengurangi kebingungan di tengah proses.

Selain cerita dan karakter, setting atau latar tempat juga berperan penting dalam membangun atmosfer cerita. Setting yang kuat bukan hanya menggambarkan di mana dan kapan cerita terjadi, tetapi juga membangun suasana yang mendukung mood cerita. Detail-detail kecil seperti aroma pasar, hawa dingin malam, atau hiruk pikuk kota bisa membuat dunia fiksi Anda terasa nyata bagi pembaca.

Setelah semua persiapan itu, tibalah saatnya untuk memulai penulisan draf pertama. Ini adalah tahap yang paling penting: menulis tanpa menghakimi. Draf pertama tidak perlu sempurna, bahkan seharusnya tidak sempurna. Fokus Anda hanyalah satu: menuangkan seluruh cerita ke atas kertas atau layar. Jangan biarkan keraguan atau keinginan untuk mengedit menghentikan aliran kreativitas Anda. Naskah yang selesai, betapapun berantakannya, tetap jauh lebih berharga daripada ide sempurna yang hanya tinggal di kepala.

Di dalam naskah, salah satu aspek yang tidak boleh diabaikan adalah dialog. Dialog yang hidup membuat karakter terasa nyata dan mempercepat laju cerita. Hindari membuat dialog yang kaku atau terlalu banyak informasi terselip dalam percakapan. Biarkan karakter berbicara sesuai kepribadian mereka, dengan gaya yang alami, kadang tidak sempurna — persis seperti dalam kehidupan nyata.

Dalam menulis novel, Anda juga harus memperhatikan ritme atau pacing cerita. Terlalu lambat akan membuat pembaca bosan, terlalu cepat bisa membuat mereka kehilangan emosi penting dalam cerita. Variasikan ritme dengan menyelipkan adegan-adegan intens diikuti momen reflektif, membangun ketegangan perlahan hingga mencapai klimaks yang menggugah.

Setelah berhasil menulis draf pertama hingga selesai, perjalanan Anda belum berakhir. Revisi adalah kunci untuk menyempurnakan cerita. Berikan waktu jeda sebelum mulai mengedit agar Anda bisa membaca naskah dengan mata baru. Dalam tahap revisi, lihatlah gambaran besar: adakah inkonsistensi karakter? Apakah alurnya masuk akal? Apakah tema cerita tercermin kuat? Lanjutkan dengan memperhalus gaya bahasa, dialog, dan memperbaiki kesalahan teknis seperti ejaan dan tata bahasa. Jika perlu, mintalah masukan dari pembaca beta atau editor profesional untuk mendapatkan sudut pandang luar.

Akhirnya, setelah naskah benar-benar matang, saatnya memikirkan penerbitan. Anda bisa mengirimkan naskah ke penerbit tradisional dengan melampirkan sinopsis menarik dan surat pengantar yang meyakinkan. Atau, jika Anda ingin memiliki kendali penuh atas karya Anda, Anda bisa memilih jalur self-publishing.

Menulis novel adalah bentuk kesabaran dan ketekunan. Bukan hanya tentang inspirasi, tapi juga tentang ketekunan untuk terus menulis, membangun cerita, memperbaiki, dan memperjuangkan karya hingga selesai. Banyak penulis hebat tidak menyelesaikan novel mereka dalam satu bulan atau bahkan setahun — tapi mereka semua memiliki satu kesamaan: mereka tidak pernah menyerah.

Jadi, bila Anda bermimpi menulis novel, jangan menunggu waktu yang sempurna atau ide yang sempurna. Mulailah dari sekarang. Tulis satu halaman. Lalu satu bab. Bangun dunia Anda, satu kata demi satu kata. Karena di ujung perjalanan ini, Anda tidak hanya akan melihat naskah novel yang utuh, tetapi juga menemukan diri Anda sebagai seorang penulis sejati.



logoblog

Wednesday, January 8, 2025

Cara Menerbitkan Skripsi, Tesis, dan Disertasi Menjadi Buku

Pergerakan zaman semakin tak terkendali, sebab siapa saja benar-benar boleh mengungkapkan isi pikiran dan hatinya untuk disebar secara luas, terutama di media sosial. Berbagai tips dan trik dalam menjalani kehidupan bahkan terkait dengan bisnis dan lain sebagainya, saat ini dibuka secara luas di dunia maya. Meskipun tak semua konten yang dibagikan adalah benar, bahkan sangat banyak yang mengandung hoax, yang penting bisa membantu mendapatkan cuan. Hal semacam ini tentu sempat membuat pesimis sebagian orang untuk ikut berbagi melalui tulisan-tulisan yang serius dengan data yang terukur kebenarannya. Akan tetapi, jika dilihat lebih teliti, tidak sedikit yang ternyata menyebarkan tulisan serius dan menjadi influencer berdedikasi. Mereka tersebar diberbagai media sosial, meskipun konten yang dibuat berbentuk audi-visual.

Nah, bagi sebagian orang, kondisi semacam ini justru dimanfaatkan sebagai peluang untuk menulis buku. Koten-konten di media sosial dijadikan sumber yang dapat diolah menjadi sebuah buku, terutama buku sastra, semacam novel atau cerpen. Bahkan, kemunculan aplikasi penyedia novel saat ini mulai massif. Penulis-penulis yang karyanya tak masuk ke ranah penerbit mayor, kemudian diterbitkan ke aplikasi penyedia novel dengan trik-trik khusus, yang kemudian banyak menghasilkan uang. Akan tetapi, ada juga yang kemudian menerbitkannya menjadi buku melalui penerbit indie yang menyediakan layanan cetak terbatas bahkan pre-order. Hal semacam ini tentu lebih memudahkan karya kita untuk bisa dibaca oleh khalayak secara umum.

Di sisi lain, di tengah kemajuan dunia, ternyata tingkat kebutuhan pendidikan pun sangat meningkat. Target pendidikan masyarakat kita saat ini bukan hanya sarjana, tetapi sudah meningkat ke pascasarjana. Standar kompetensi kepegawaiannya pun, ternyata ikut menuntut masyarakat untuk meningkatkan kebutuhan pendidikannya. Karenanya, menjamurlah berbagai jurusan pascasarjana di berbagai perguruan tinggi, baik negeri maupun swasta. Dengan begitu, pengalaman riset dan menulis pun meningkat secara drastic dan dramatis, sebab kita dipaksa untuk menjadi mahasiswa yang memiliki kualitas di atas rata-rata seorang sarjana.

Tugas pembuatan makalah maupun proposal penelitian pun bertambah. Hal ini tentu saja sangat menunjang latihan atau persiapan memenuhi kewajiban seorang mahasiswa pascasarjana, yaitu menulis tesis maupun disertasi bagi yang menginjak program doctoral. Kesibukan di luar tugas pekerjaan sehari-hari pun menjadi bertambah, yaitu lebih rajin ke perpustakaan, minimal untuk menambah referensi keilmuan yang dibutuhkan, sesuai jurusan yang dipilih.

Pekerjaan menyelesaikan tesis mapun disertasi tentu menghabiskan tenaga dan biaya. Akan tetapi, tidak banyak yang berpikir bahwa setelah selesai mengerjakan salah satu atau keduanya, kita dapat mempublikasikannya menjadi sebuah buku yang dapat dibaca oleh khalayak ramai. Ya, semestinya kita sudah mulai memikirkan cara menerbitkan tesis dan disertasi, sehingga seakan-akan hanya bisa dibaca oleh mahasiswa angkatan sesudah kita.


Memang benar, telah banyak buku yang terbit dari hasil olahan sebuah tesis atau disertasi. Akan tetapi, kebanyakan penerbit hanya mau mempublikasikan tema-tema yang dianggap memiliki pasar. Padahal, sebenarnya banyak masyarakat kita yang juga membutuhkan bacaan berkualitas semisal tesis dan disertasi. Lalu, bagaimana sebenarnya menerbitkan tesis atau disertasi? Kita bisa menerbitkan tesis atau disertasi sendiri. Dengan kata lain menggunakan biaya sendiri melalui model Publishing on Demand. Penerbitan buku model ini tidak perlu melakukan cetak hingga ribuan eksemplar. Kita bisa mencetak buku hanya dengan puluhan atau ratusan eksemplar. Hal ini bisa dimanfaatkan untuk promosi awal atau contoh yang akan ditawarkan kepada pembeli, termasuk perpustakaan-perpustakaan. Jika permintaan ternyata lumayan tinggi, kita bisa melakukan cetak ulang.

Model menerbitkan semacam ini tentu lebih mudah dan lebih kecil resikonya, sebab kita bisa memantau sendiri penjualan buku kita. Untuk memasarkannya, kita bisa memanfaatkan internet, terutama melalui jejering sosial atau web-blog pribadi. Tak sedikit juga yang telah berhasil menjual bukunya melalui aplikasi marketplace. Hal ini semakin banyak diminati oleh sebgian penulis, terutama penulis pemula yang memiliki waktu luang dalam memasarkan karyanya. 

logoblog