Monday, February 17, 2025

Søren Kierkegaard: "Takut dan Gemetar" — Iman dalam Dunia yang Penuh Ketidakpastian

 Di tengah gempuran modernitas, relativisme, dan kehidupan serba instan, pemikiran Søren Kierkegaard dalam Fear and Trembling (Frygt og Bæven, 1843) menawarkan suatu perenungan yang sunyi namun menggugah: bagaimana manusia berdiri di hadapan Tuhan, di hadapan diri sendiri, dan di hadapan misteri hidup. Kierkegaard, melalui nama samaran “Johannes de Silentio”, menyampaikan refleksi tentang iman—bukan sebagai dogma, tetapi sebagai paradoks, lompatan, dan perjuangan eksistensial yang mendalam.

Abraham dan “Lompatan Iman”

Pusat narasi Fear and Trembling adalah kisah Abraham yang diperintahkan Tuhan untuk mengorbankan anaknya, Ishak. Bagi Kierkegaard, kisah ini bukan tentang ketaatan biasa, tetapi tentang iman sebagai paradoks etis, di mana manusia melampaui etika umum demi relasi absolut dengan Yang Ilahi.


“Iman adalah bahwa karena absurd itu, maka aku percaya.” (Fear and Trembling)


Di zaman rasional dan serba logis, lompatan iman ini terasa seperti kegilaan. Siapa yang mau percaya kepada sesuatu yang tidak dapat dijelaskan? Namun justru di sinilah relevansinya: ketika hidup menawarkan pertanyaan-pertanyaan yang tak bisa dijawab dengan logika—kematian, cinta sejati, tujuan hidup, penderitaan—iman muncul bukan sebagai jawaban, tetapi sebagai keberanian untuk tetap melangkah tanpa kepastian.
“Abraham menjadi besar dengan kekuatannya… dengan kekuatan absurditas dia percaya bahwa dia akan mendapatkan Ishak kembali.” (Fear and Trembling)

Iman, bagi Kierkegaard, bukan kepastian. Iman adalah perjuangan penuh gemetar, antara cinta dan kehilangan, antara pengorbanan dan harapan.

Ksatria Iman: Tokoh Sunyi Zaman Modern 

Kierkegaard membedakan antara “ksatria resignasi” dan “ksatria iman.” Yang pertama adalah mereka yang rela melepaskan segalanya demi sesuatu yang lebih tinggi—tapi mereka tetap dalam kesedihan. Yang kedua, jauh lebih radikal: mereka melepaskan segalanya dan tetap percaya bahwa mereka akan mendapatkannya kembali, meski kelihatannya mustahil.

“Ksatria iman percaya dengan absurditas, dan karena itu dia akan mendapatkan kembali segala sesuatu yang ia lepaskan.” (Fear and Trembling)
Di dunia sekarang, ksatria iman bukanlah mereka yang fanatik, melainkan mereka yang berani mencintai tanpa jaminan, berjuang dalam kesetiaan ketika semuanya tak jelas, tetap menulis, mencipta, dan mencintai—meskipun dunia mungkin tidak mengakui mereka.

Melampaui Etika Umum: Ketegangan antara Individu dan Masyarakat

Kierkegaard menggugat prinsip moral universal ‘Kantian’ yang mengharuskan tindakan moral berlaku umum. Abraham tidak bisa menjelaskan tindakannya kepada siapa pun. Ia berdiri sendirian di hadapan Tuhan, dalam ruang sunyi eksistensial.
“Ia tidak dapat berbicara... dan di dalam kesunyian itu, ia menjadi besar.” (Fear and Trembling)
Zaman ini menyukai narasi yang bisa dibagikan, bisa divalidasi sosial, dan bisa dibuktikan secara saintifik. Tapi ada keputusan-keputusan pribadi yang tak bisa dijelaskan ke publik. Keputusan untuk tetap bersama pasangan saat badai datang. Keputusan meninggalkan pekerjaan mapan demi hidup lebih bermakna. Keputusan mengampuni tanpa alasan rasional. Ini adalah momennya Abraham dalam hidup kita masing-masing—dan tak semua orang bisa mengerti.

Ketakutan dan Gemetar: Bahasa Iman, Bukan Kepastian

Judul buku ini bukan kebetulan. Fear and Trembling (Takut dan Gemetar) adalah sikap eksistensial manusia yang berdiri di hadapan sesuatu yang kudus dan absolut. Iman bukanlah kepercayaan buta, tapi pengalaman penuh gentar dalam menghadapi misteri yang tak tergapai.
“Hanya dalam ketakutan dan gemetar, individu dapat mengalami perjumpaan sejati dengan Yang Ilahi.”
Kita hidup di zaman yang alergi terhadap ketidakpastian. Tapi Kierkegaard mengajarkan bahwa ketakutan bukan kelemahan, justru itu adalah bagian dari iman yang sejati. Iman bukan tentang menghapus keraguan, melainkan berani hidup bersamanya.

Relevansi Kontemporer: Iman dalam Dunia yang Sunyi

Kierkegaard sering menyebut dirinya sebagai “penyair religius,” tapi apa yang ia bicarakan lebih luas daripada agama formal. Ia bicara tentang perjuangan batin manusia modern: hidup tanpa jaminan, mencintai tanpa balasan, memilih dengan risiko gagal, dan percaya walau tampaknya tak ada alasan untuk percaya.
“Yang tragis adalah ketika seseorang kehilangan dirinya sendiri dan tidak menyadarinya.” (The Sickness Unto Death)
Di dunia yang sibuk mencari validasi eksternal, kita kerap kehilangan diri kita sendiri—dan inilah penyakit zaman modern: kehilangan makna, kehilangan arah, dan akhirnya kehilangan keberanian untuk percaya.

Iman sebagai Pemberontakan Sunyi

Dalam Fear and Trembling, Kierkegaard tidak menawarkan jawaban, tapi menghidupkan kembali ruang sunyi dalam batin manusia—ruang di mana kita ditantang untuk berani percaya meski dunia tidak mengerti. Iman bukanlah milik orang fanatik, tapi milik mereka yang tetap bertahan di tengah absurditas hidup, dan yang berani mencintai tanpa syarat.
“Hidup hanya dapat dipahami dengan melihat ke belakang, tetapi ia harus dijalani dengan melihat ke depan.” (Journals, 1843)
Dalam ketakutan dan gemetar, iman kita diuji. Dan di sanalah, menurut Kierkegaard, manusia menjadi paling manusiawi.

Pandangan spiritual Kierkegaard ini tentu berbeda dengan para spiritualis yang telah mengalami pencerahan, di mana keimanan itu telah dilampaui dengan keselarasan diri bersama kecerdasan semesta. Terdapat tafsir berbeda dalam memaknai dogma, terutama ketika para spiritualis menempatkan dogma sebagai ajaran simbolis yang dipakai untuk memperbaiki kesadaran ilahi setiap diri manusia. Teks dibaca bukan semata-mata sebagai adanya, tetapi terdapat makna di balik tanda yang terselubung, sebagai pintu kebijaksanaan diri.

Meski demikian, tafsir Kierkegaard cukup menggugah para pemegang teguh iman yang selama ini hanya menganggap kisah Abraham sebagai dogma saja, sehingga menemukan pergeseran pemaknaan atas ajaran agama.

Bagi Anda yang masih membutuhkan buku tersebut, silakan klik, link berikut. TAKUT dan GEMETAR.

logoblog
Previous
« Prev Post

No comments:

Post a Comment